Jumat, 23 Maret 2018


Titip Rindu di Ujung Senja
Karya Wahyu Hidayat SMP N 6 Mataram
Mentari kian menguning, menghentikan semua aktivitas sebuah desa di ujung Kota Mataram. Di ujung jalan desa, terdapat sebuah rumah sederhana yang berdiri dengan rasa takut. Atapnya hanya terbuat dari genteng lama yang penuh lumut, temboknya pun usang yang haus akan tampilan baru. Tidak jauh dengan kondisi dalam,  pagar rumah pun hanya terbuat dari bambu yang dianyam dengan sedikit sentuhan  seni. Di sana  seorang anak kota yang berlabuh menuai kehidupan baru yang didampingi saudaranya.
Rio beranjak dari rumah pohon yang ditempatinya. Teriakan Roni sang kakak membuatnya menghentikan kegiatannya di rumah pohon. Rio pun memberi Roni beberapa benda kecil yang akan meredakan rasa sakit yang telah lama menguasai kakaknya. Sudah hampir setahun, Rio harus terbiasa seperti itu karena Roni harus bertempur melawan penyakit ganas yang bersarang di jantung diakibatkan kebanyakan merokok. Semenjak ayah Rio dan Roni tiada, mereka berdua pun harus berusaha menjalani  kehidupan secara mandiri dengan sisa uang pensiunan ayah mereka yang pas-pasan dan hanya mampu membiayai sekolah Rio serta kebutuhan hidup kecil lainnya. Di samping itu, ibu mereka telah lama menghilang dan tidak diketahui rimbanya. Sering kali mereka berdua memiliki keinginan kecil yang tertanam di benak mereka untuk mencari keberadaan ibu mereka di pusat Ibu Kota Negara Indonesia sekaligus kediaman nenek mereka.
Sepulang Rio bersekolah, pelajar SMP itu langsung menemui kakaknya yang terbaring lemas di tempat tidurnya. Setelah menyiapkan makanan dan obat-obatan dia pun beristirahat sembari mengerjakan sedikit tugas yang mengganjal pekerjaannya. Tugas sekolah membuatnya sering lupa dengan keadaannya.
Melakukan pekerjaan rumah memang biasa dia dilakukan, Rio membersihkan halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan hijau. Setelah komplikasi pada paru-paru Roni, kemudian ke jantung, dia menjadi jatuh hati dengan tumbuhan hijau. Oleh karena itu, Rio mengisi halamannya dengan tumbuhan hijau dan menyanggupi untuk membersihkan dedaunan yang berguguran. Sebaliknya, Roni hanya terduduk lemas di rumah pohon untuk menghirup udara pepohonan yang kaya dengan napas kehidupan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Rio pun membawa sampah-sampah dedaunan untuk dibuang ke bak sampah di pinggir  jalan.
***
Geram muncul, amarah tercipta dan benci melulur diri Rio setelah berjalan melewati remaja-remaja yang duduk di “berugak” desa. Entah apa yang dipikirkn Rio, setelah melihat rokok mengepulkan asap dan menyelinap di sela-sela jari mereka. Remaja itu tertawa  terbahak-bahak. Mereka tidak sadar sedang menertawakan diri mereka sendiri. Tertawa dan senang menjemput maut yang akan membunuh mereka di kemudian hari, sama seperti apa yang menghantui tubuh Roni.
Tak lama kemudian, mentari menghilang dari cakrawala dan hanya menyisakan beberapa beberapa warna harmoni senja di ufuk barat. Tak lama kemudian, tanah Lombok kembali tertidur, penghuninya pun membisu setelah gugusan bintang pun mulai pudar. Semua beristirahat untuk hari ini mengikuti sabda alam.
***
            Kegembiraan terpancar di wajah penghuni kelas di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Mataram. Sekelompok remaja senang sembari memandangi sebuah surat undangan yang mengajak mereka bergabung dalam organisasi anti narkoba dan penyimpangan prilaku sosial lainnya. Mereka senang dan terhanyut dalam kegembiraan. Salah seorang di antara mereka ada Roni. Dia terpilih menjadi koordinator organisasi “Remaja tanpa Narkoba dan Rokok” yang dibentuk oleh kalangan yang risau menatap awal kebahagiaan remaja yang mulai pudar oleh hal-hal itu.
            Terik terus menerpa, memijari tanpa henti bumi pertiwi ini. Rio bersemangat mengayuh pedal sepeda menyusuri jalanan desa yang dipenuhi oleh inaq-inaq” suku sasaq yang sedang berbincang dan duduk di teras rumah kerabat mereka. Setelah itu, Rio menyiapkan segala keperluan kakaknya yang saat itu mulai pulih dari sakitnya. Rio pun beranjak dari kegiatannya di dalam rumah. Sekarang dia berada di rumah pohon sembari membuka sebuah laptop yang akan membantu pekerjaannya. Sela-sela jari Rio sedang sibuk mencari permukaan tombol dengan lincah, seorang datang dan menepuk pundak Roni dan mengacaukan pekerjaanya dengan seketika. Ternyata Roni yang mengunjungi Rio di rumah pohon tersebut. Dengan cepat Rio menutup laptopnya dan berbalik arah dengan cepat.
             “Lanjutkan saja pekerjaanmu, Kakak mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kakak tidak akan marah dan itu semua sudah menjadi pelajaran berharga buat kakak dalam bergaul. Kakak mendukung apa yang kamu usahakan,” sebuah kalimat yang meluncur dengan cepat dan menyentuh hati Rio.
           Iya, terimakasih Kak, Rio akan berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu teman-teman, termasuk Kakak.”
           “Boleh kakak bantu? Nanti kakak ceritakan apa saja yang sering dilakukan oleh pecandu-pecandu dini termasuk kakak.”
           Ya, silakan!” jawabku.
Pagi mulai menderu dan menyambut dunia. Sinar mentari menerpa lembut daratan Lombok yang indah.            Semburat mentari berpijar dengan lantang, sinarnya yang masih buram mulai menghampiri seluruh daratan yang dilaluinya. Rio tampak telah rapi dengan seragam anti narkoba yang dikenakannya. Rio bersama anggota lainnya bersiap menuju sebuah desa terpencil di ujung utara Kota Mataram. Di sana mereka melakukan penyuluhan dan menerangkan kehidupan pahit yang akan menimpa para remaja akhir-akhir ini, seperti : merokok, mengonsumsi narkoba, serta seks bebas di kalangan remaja.
         “Teman-temanku sekalian, belajarlah mengerti hidup. Kami mengingatkan akan bahaya narkoba, penyimpangan perilaku sosial yang sedang gencarnya terjadi. Masa depan bisa semakin suram, kematian bisa di depan mata jika kita melakukan hal yang menyimpang tadi. Jadi, jangan coba-coba untuk untuk melakukan hal itu agar masa depan Indonesia selanjutnya dapat terang di bawah generasi muda seperti kita-kita ini,” ucap Rio yang disambut dengan tepuk tangan gembira di lapangan desa.
            Penyuluhan pertama yang diikuti oleh Rio beserta anggotanya berjalan sesuai rencana. Tumpahan peluh membanjiri raut wajah sang penerus bangsa yang sangat rindu dengan kedamaian remaja tersebut, tetapi kepuasan terpancar di wajah mereka. Mereka senang membagi informasi kepada sesama.
            Hari demi hari Rio jalani dengan berbagai kesibukan yang mendera. Namun, dibalik kesuksesan organisasi yang dipimpin oleh Rio. Dia harus bekerja lebih baik agar kesembuhan kakaknya  segera terwujud. Masa lalu yang suram menghiasi kehidupan keluarga Rio. Kakaknya yang kerap pulang malam, membolos dan menekuni pergaulan bebas serta ayah Rio yang sakit-sakitan membuat hidupnya begitu menderita.
            masyarakat membanjiri lapangan umum yang berada di kota tempat tinggal Rio. Manusia berbaur menjadi satu. Terik mentari menyengat, sinar membakar semangat semua orang yang mengerti akan keistimewaan hari ini. Rio pun bersama anggotanya sangat antusias menyambut kemeriahan hari ini. Tepat hari ini, merupakan tanggal 26 Juni 2015 yang bertepatan dengan Hari Anti Narkoba Internasional. Beberapa hiburan menjadi daya tarik semua orang yang melewati lapangan umum untuk bergabung dengan acara besar ini. Keramaian pun terhenti pada saat penyambutan oleh kepala BNN.
            Hiburan nyanyian telah berlalu, sekarang Rio selaku ketua organisasi yang akan memberi  kata penutup kepada seluruh yang hadir pada acara tersebut.
“Banyak korban tertelan olehnya, banyak orang menjadi lupa diri, banyak orang yang kehilangan hidupnya, banyak orang yang kehilangan kebahagiaannya, banyak orang yang ditinggal keluarganya!Banyak orang menjadi dusta, banyak orang menjadi angkuh, banyak orang yang sengsara, banyak orang menjadi lupa dengan Tuhannya, serta banyak orang lupa bersyukur kepada Tuhan-Nya!!” tegas Rio dengan lantang sembari meneteskan butiran  matanya berkaca=kaca. Tepuk tangan riuh membanjiri penyambutan Rio.
“Marilah sama-sama membangun bangsa tanpa barang-barang yang dapat merusak diri banyak korban, mari menjaga sanak saudara kita semua dari perilaku bebas yang menghantui seluruh manusia dari berbagai sisi kehidupan,” lanjutnya dengan nada lirih.
            “Tidak hanya narkoba yang perlu diwaspadai.Saudara, banyak dari kita yang lalai dengan kehidupan anak, saudra dan belahan keluarga kita.Mereka menyelipkan sebuah rokok disela-sela jari mereka, kemudian menghisapnya. Cukup satu orang yang saya ketahui terkena penyakit yang mematikan. Kakak saya yang menjadi saksi jahatnya penyakit yang diidap gara-gara rokok. Dia telah mengsisap ribuan bahkan miliyaran kubangan asapnya. Pada hari yang istimewa ini, saya berharap, remaja seusia saya serta generasi penerus bangsa dapat terbebas dari jeratan rokok dan pergaulan bebas yang mulai mewabah dari berbagai usia. Semoga seks bebas, tawuran, narkoba, rokok dan pergaulan bebas lainnya hilang dari kehidupan generasi muda bangsa Indonesia. Mudah-mudahan dapat terlaksana dan sukses menuju Indonesia emas 2045. Akhirnya, matikan rokok sebelum rokok membunuhmu. Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Tepuk tangan yang riuh membangkitkan suasana yang semakin semarak. Semua  memberi penghargaan kepada Rio dan teman-temannya.
***
            Rio pun masuk ke kamar kakaknya sembari membawa barang-barangnya. Namun, napas Roni sang kakak berdebar dengan amat kencang. Rio pun panik tidak tahu apa yang harus dilakukan, Rio mencoba menenangkan kakaknya. Tidak ada hasil yang dapat dituai. Rio segera membawanya ke rumah sakit, walaupun ditolak Roni karena Roni tahu mereka tidak punya uang. Hasil kerja keras Rio di sela-sela waktu sekolahnya dapat membantu biaya rumah sakit. Apalagi banyak tetangga dan kerabat mereka yang senantiasa membantu meringankan bebannya.
            Iringan awan hitam membaluti keramaian kota. Rio dengan tergesa-gesa mengikuti arah jalan ke rumah sakit agar tidak terkena hujan. Namun, kendala menghentikan perjalanan Rio, ban sepeda yang dikendarainya bocor dan perlu ditambal. Hati Rio tampak resah, namun dia tidak tahu mengapa jadi begitu. Setelah lama menambal ban, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit untuk menemui kakaknya. Hati Rio semakin tidak enak. Sesampainya di rumah sakit dia pun menemui kakaknya yang masih tertidur sembari ditemani oleh pamannya. Pamannya pun dipersilakan untuk pulang dan beristirahat. Sekarang giliran Rio yang menjaga kakaknya sambil mengerjakan tugas organinsasinya.
             Malam terasa dingin.Seusai memberi Roni makan, Rio pun menunaikan sholat tepat di samping kakaknya. Setelah selesai, Rio mengajak Roni untuk mengobrol.
              Sudah delapan hari kakak di sini, siapa yang membiayai rumah sakitnya?” ucap Roni dengan nada pelan.
              Rio masih mempunyai sedikit uang, Kak,” kata Rio sambil menatap layar laptopnya.
              Uang biaya untuk Adik masuk SMA bagaimana?” tanya Roni lagi.
              Jangan tanyakan itu, nanti pasti Rio bisa cari lagi. Yang penting Kakak sehat,” jawab Rio dengan cengengesan.
               “ Rio, terima kasih sudah merawat Kakak dengan tulus. Maafkan kakak ,dulu sering usil dan cuek sama Rio. Rio harus rajin belajar dan jangan seperti Kakak. Suatu hari nanti kamu harus cari ibu ya. Titip salam rindu buat ibu. Rinduku di ujung senja. Kakak sudah tidak kuat,” Roni berkata dengan terbata-bata, butiran air mata tampak mengalir di sudut matanya. Rio menggangguk dan matanya berkaca-kaca.
                Kak, Kakak, bangun!” tangis Rio. Dia memeluk kakaknya yang sudah menutupkan matanya dengan rapat.
               Rio tidak menyangka kata-kata mutiara yang disampaikan kakaknya merupakan akhir dari segalanya.
               Kerabat dan kenalan meninggalkan tempat peristirahatan Roni. Kuburan Roni disandingkan dengan makam ayah mereka. Tersisa Rio dan pamannya yang masih terbelenggu dengan kesedihan mendalam dan teramat sangat. Rio pun berjalan dengan lesu.
            Beberapa bulan kemudian, apa yang dilakukan Rio dan teman-temannya mendapatkan apreasiasi dan penghargaan oleh Walikota pada saat acara penanaman sejuta pohon untuk lahan yang mulai gundul. Program yang dicanangkan oleh Rio untuk wilayah yang mulai kosong dengan warna hijau baru terkabul.
            Dengan uang yang dimilikinya ditambah dengan uang dari walikota, Rio menjalankan keinginannya untuk berkunjung ke rumah neneknya. Dia mulai menjauh dan meninggalkan daratan Lombok yang telah membesarkannya menjadi anak yang berguna. Keramaian menyambut Rio di Bandara Seokarno-Hatta. Dengan wajah bingung dia berjalan menuju pintu keluar sembari menyimpan rasa gugup yang mendera hatinya. Dia berkata dalam hati.“Apakah saya akan menemui ibu di sana?”
            Mentari mulai menguning di arah barat. Namun, sore tetap  mengundang keramainan di Jakarta. Setelah berada di perjalanan selama setengah jam dan dijebak dengan kemacetan Ibu Kota Indonesia, akhirnya Rio pun sampai di depan rumah berlantai dua dan melangkahkan kakinya ke sana. Dia tidak menemukan ibunya.
Rio pun naik menuju lantai dua untuk melihat pemandangan senja hari ibukota. Tiba-tiba, air mata Rio menetes. Dia teringat bahwa tempat ini merupakan kenangan ia bersama kakaknya. Di kala mereka kecil, Rio dan Roni kerap kali bertengkar dan bermain di sini. Ibu dan ayah mereka pun sering berkumpul di sini. Tiba-tiba sebuah bayangan menghampiri Rio. Rio memeluknya dengan erat. Dia tahu itu ibunya. Air mata rindu mulai menetes dari pelupuk mereka . Ternyata ibunya berada di dekatnya. Perasaan senang mengalir di seluruh tubuhnya. Rio menjelaskan keadaan ayah dan kakaknya. Dia juga menjelaskan keberhasilannya dalam mencegah kepribadian bebas remaja sekarang dan membantu mereka melupakan rokok dan narkoba. Ibunya tersenyum. Mereka pun saling merangkul dengan eratnya. Rindu dendam yang tertanam selama lima tahun  pupus sudah. Mereka berada di sana untuk membuang rasa rindu mereka sampai senja menutup harinya. Rio pun menyampaikan pesan kakaknya. Kakak yang menitip rindu di ujung senja buat ibu.



GLOSARIUM:
1.      Barugaq = rumah kecil tempat duduk santai terbuat dari kayu (bahasa Sasak)
2.      Inaq-inaq = ibu-ibu  (bahasa Sasak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar