Titip
Rindu di Ujung Senja
Karya
Wahyu Hidayat SMP N 6 Mataram
Mentari kian menguning, menghentikan semua aktivitas sebuah desa di ujung Kota Mataram. Di ujung jalan
desa, terdapat sebuah rumah sederhana yang berdiri dengan rasa takut. Atapnya hanya terbuat dari genteng lama yang penuh lumut, temboknya pun usang yang haus akan
tampilan baru. Tidak jauh dengan kondisi dalam, pagar rumah pun hanya terbuat dari bambu yang dianyam dengan
sedikit sentuhan seni. Di sana
seorang anak kota yang berlabuh menuai kehidupan baru yang didampingi saudaranya.
Rio beranjak dari rumah pohon yang
ditempatinya. Teriakan Roni sang kakak membuatnya menghentikan kegiatannya di
rumah pohon. Rio pun memberi Roni beberapa benda kecil yang akan meredakan rasa
sakit yang
telah lama menguasai kakaknya.
Sudah hampir setahun, Rio harus terbiasa seperti itu karena Roni harus
bertempur melawan penyakit ganas yang bersarang di jantung diakibatkan kebanyakan merokok. Semenjak ayah Rio dan Roni tiada, mereka berdua
pun harus berusaha menjalani kehidupan
secara mandiri dengan sisa uang pensiunan ayah mereka yang pas-pasan dan hanya mampu membiayai sekolah Rio serta kebutuhan
hidup kecil lainnya. Di samping itu, ibu mereka telah lama
menghilang dan tidak diketahui rimbanya. Sering kali
mereka berdua memiliki keinginan kecil yang tertanam di benak mereka untuk
mencari keberadaan ibu mereka di pusat Ibu Kota Negara Indonesia sekaligus
kediaman nenek mereka.
Sepulang Rio bersekolah, pelajar SMP itu langsung
menemui kakaknya yang terbaring lemas di tempat tidurnya. Setelah menyiapkan
makanan dan obat-obatan dia pun beristirahat sembari mengerjakan sedikit tugas
yang mengganjal pekerjaannya. Tugas sekolah membuatnya
sering lupa dengan keadaannya.
Melakukan pekerjaan rumah memang biasa dia dilakukan, Rio
membersihkan halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan hijau. Setelah
komplikasi pada paru-paru Roni, kemudian ke jantung, dia
menjadi jatuh hati dengan tumbuhan hijau. Oleh karena itu, Rio mengisi
halamannya dengan tumbuhan hijau dan menyanggupi untuk membersihkan dedaunan
yang berguguran. Sebaliknya, Roni hanya terduduk lemas di rumah pohon untuk
menghirup
udara pepohonan yang kaya dengan napas kehidupan. Setelah
menyelesaikan pekerjaannya, Rio pun membawa sampah-sampah dedaunan untuk
dibuang ke bak sampah di pinggir jalan.
***
Geram muncul, amarah tercipta
dan benci melulur diri Rio setelah berjalan melewati remaja-remaja yang
duduk di “berugak” desa. Entah apa
yang dipikirkn Rio, setelah melihat rokok mengepulkan asap dan menyelinap di sela-sela jari mereka. Remaja itu tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak sadar sedang
menertawakan diri mereka sendiri. Tertawa dan senang menjemput maut yang akan membunuh mereka di kemudian
hari, sama seperti apa yang menghantui tubuh Roni.
Tak lama kemudian, mentari menghilang dari cakrawala dan hanya menyisakan
beberapa
beberapa warna harmoni senja di ufuk
barat. Tak lama kemudian, tanah
Lombok kembali tertidur, penghuninya pun membisu setelah gugusan
bintang pun mulai pudar.
Semua
beristirahat untuk hari ini mengikuti sabda alam.
***
Kegembiraan terpancar di wajah penghuni kelas di sebuah Sekolah Menengah
Pertama di Mataram. Sekelompok remaja senang sembari memandangi sebuah surat
undangan yang
mengajak mereka bergabung dalam organisasi anti narkoba dan
penyimpangan prilaku sosial lainnya.
Mereka senang dan terhanyut dalam kegembiraan. Salah seorang di antara mereka
ada Roni. Dia
terpilih menjadi koordinator organisasi “Remaja tanpa Narkoba dan Rokok” yang
dibentuk oleh kalangan yang risau menatap awal kebahagiaan remaja yang mulai
pudar oleh
hal-hal itu.
Terik
terus menerpa, memijari tanpa henti bumi pertiwi ini. Rio bersemangat mengayuh pedal sepeda menyusuri
jalanan desa yang dipenuhi oleh “inaq-inaq”
suku sasaq yang sedang berbincang dan duduk di teras rumah kerabat mereka.
Setelah itu, Rio menyiapkan segala keperluan kakaknya yang saat itu mulai pulih
dari sakitnya. Rio pun beranjak dari kegiatannya di dalam rumah. Sekarang dia berada
di rumah pohon sembari membuka sebuah laptop yang akan
membantu pekerjaannya. Sela-sela jari Rio sedang sibuk mencari permukaan tombol dengan lincah, seorang datang dan
menepuk pundak Roni dan mengacaukan
pekerjaanya dengan seketika. Ternyata Roni yang mengunjungi Rio di rumah pohon
tersebut. Dengan cepat Rio menutup laptopnya dan
berbalik arah dengan cepat.
“Lanjutkan
saja pekerjaanmu, Kakak mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kakak tidak akan
marah dan itu semua sudah menjadi pelajaran berharga buat kakak dalam bergaul. Kakak mendukung apa yang kamu
usahakan,” sebuah kalimat yang meluncur dengan cepat dan menyentuh hati Rio.
“Iya, terimakasih Kak, Rio akan berusaha melakukan yang terbaik
untuk membantu teman-teman,
termasuk Kakak.”
“Boleh
kakak bantu? Nanti kakak
ceritakan apa saja yang sering dilakukan oleh pecandu-pecandu dini termasuk
kakak.”
“Ya, silakan!” jawabku.
Pagi mulai menderu dan menyambut dunia. Sinar mentari menerpa
lembut daratan Lombok yang indah. Semburat mentari berpijar dengan
lantang, sinarnya yang masih buram mulai menghampiri
seluruh daratan yang dilaluinya. Rio tampak telah rapi dengan
seragam anti
narkoba yang dikenakannya. Rio
bersama anggota lainnya bersiap menuju sebuah desa terpencil di ujung utara
Kota Mataram. Di sana mereka melakukan penyuluhan dan menerangkan kehidupan pahit yang akan menimpa para remaja akhir-akhir ini, seperti : merokok, mengonsumsi
narkoba, serta seks bebas di kalangan remaja.
“Teman-temanku sekalian, belajarlah mengerti hidup.
Kami
mengingatkan akan bahaya narkoba, penyimpangan perilaku
sosial yang sedang gencarnya terjadi. Masa
depan
bisa semakin suram, kematian bisa di depan mata jika kita melakukan hal yang menyimpang
tadi. Jadi, jangan coba-coba untuk untuk melakukan hal itu agar masa depan Indonesia selanjutnya dapat terang di
bawah generasi muda seperti kita-kita ini,” ucap
Rio yang disambut dengan tepuk tangan gembira di lapangan desa.
Penyuluhan
pertama yang diikuti oleh Rio beserta anggotanya berjalan sesuai rencana.
Tumpahan peluh membanjiri raut wajah sang penerus bangsa yang sangat rindu
dengan kedamaian remaja tersebut, tetapi kepuasan terpancar di wajah mereka. Mereka
senang membagi informasi kepada sesama.
Hari
demi hari Rio jalani dengan berbagai kesibukan yang mendera. Namun, dibalik
kesuksesan organisasi yang dipimpin oleh Rio. Dia harus bekerja lebih baik agar
kesembuhan kakaknya segera terwujud. Masa lalu yang suram menghiasi kehidupan keluarga
Rio. Kakaknya yang kerap pulang malam, membolos dan menekuni pergaulan bebas
serta ayah Rio yang sakit-sakitan membuat hidupnya begitu menderita.
masyarakat membanjiri lapangan umum yang berada di kota tempat
tinggal Rio. Manusia berbaur menjadi satu. Terik mentari menyengat, sinar membakar semangat semua orang yang mengerti
akan keistimewaan hari ini. Rio pun bersama anggotanya sangat antusias
menyambut kemeriahan hari ini. Tepat hari ini, merupakan tanggal 26 Juni 2015
yang bertepatan dengan Hari Anti Narkoba Internasional. Beberapa hiburan
menjadi daya tarik semua orang yang melewati lapangan umum untuk bergabung
dengan acara besar ini. Keramaian pun terhenti
pada saat penyambutan oleh kepala BNN.
Hiburan
nyanyian telah berlalu, sekarang Rio selaku ketua organisasi yang akan memberi kata penutup
kepada seluruh yang hadir pada acara tersebut.
“Banyak korban tertelan olehnya, banyak orang menjadi
lupa diri, banyak orang yang kehilangan hidupnya, banyak orang yang kehilangan
kebahagiaannya, banyak orang yang ditinggal keluarganya!Banyak orang menjadi
dusta, banyak orang menjadi angkuh, banyak orang yang sengsara, banyak orang
menjadi lupa dengan Tuhannya, serta banyak orang lupa
bersyukur kepada Tuhan-Nya!!” tegas Rio dengan lantang sembari meneteskan
butiran matanya berkaca=kaca. Tepuk tangan riuh membanjiri penyambutan Rio.
“Marilah sama-sama membangun bangsa tanpa
barang-barang yang dapat merusak diri banyak korban, mari menjaga sanak saudara
kita semua dari perilaku bebas yang
menghantui seluruh manusia dari berbagai sisi kehidupan,” lanjutnya dengan nada
lirih.
“Tidak
hanya narkoba yang perlu diwaspadai.Saudara, banyak dari kita yang lalai dengan
kehidupan anak, saudra dan belahan keluarga kita.Mereka menyelipkan sebuah
rokok disela-sela jari mereka, kemudian
menghisapnya. Cukup satu orang yang saya ketahui terkena penyakit
yang mematikan. Kakak saya yang menjadi saksi jahatnya penyakit yang
diidap gara-gara rokok. Dia telah mengsisap
ribuan bahkan miliyaran kubangan asapnya. Pada hari yang istimewa
ini, saya berharap, remaja seusia saya serta generasi penerus bangsa dapat
terbebas dari jeratan rokok dan pergaulan bebas yang
mulai mewabah dari berbagai usia. Semoga seks bebas, tawuran, narkoba, rokok
dan pergaulan bebas lainnya hilang dari kehidupan generasi muda bangsa Indonesia. Mudah-mudahan
dapat terlaksana dan sukses menuju Indonesia emas 2045. Akhirnya, matikan rokok sebelum
rokok membunuhmu. Merdeka! Merdeka!
Merdeka!” Tepuk tangan yang riuh membangkitkan
suasana
yang semakin semarak. Semua memberi penghargaan kepada Rio dan teman-temannya.
***
Rio
pun masuk ke kamar kakaknya sembari membawa barang-barangnya. Namun, napas Roni sang kakak berdebar dengan amat kencang. Rio
pun panik tidak tahu apa yang harus dilakukan,
Rio mencoba menenangkan kakaknya. Tidak ada hasil yang dapat dituai. Rio segera
membawanya ke rumah sakit, walaupun ditolak Roni karena Roni tahu mereka tidak
punya uang. Hasil kerja keras Rio di sela-sela waktu sekolahnya dapat membantu
biaya rumah sakit. Apalagi banyak tetangga dan kerabat mereka yang senantiasa
membantu meringankan bebannya.
Iringan
awan hitam membaluti keramaian kota. Rio dengan tergesa-gesa mengikuti arah
jalan ke rumah sakit agar tidak terkena hujan. Namun, kendala menghentikan
perjalanan Rio, ban sepeda yang dikendarainya bocor dan perlu ditambal. Hati
Rio tampak resah, namun dia tidak tahu mengapa jadi
begitu. Setelah lama menambal
ban, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit untuk menemui
kakaknya. Hati Rio semakin tidak enak. Sesampainya
di rumah sakit dia pun menemui kakaknya yang masih tertidur sembari ditemani
oleh pamannya. Pamannya pun dipersilakan untuk pulang dan
beristirahat. Sekarang giliran Rio yang
menjaga kakaknya sambil mengerjakan tugas
organinsasinya.
Malam
terasa dingin.Seusai memberi Roni makan, Rio pun
menunaikan sholat tepat di samping kakaknya. Setelah
selesai, Rio mengajak Roni untuk mengobrol.
“ Sudah
delapan hari kakak di sini, siapa yang membiayai rumah
sakitnya?” ucap Roni dengan nada pelan.
“ Rio
masih mempunyai sedikit uang, Kak,” kata Rio sambil menatap layar
laptopnya.
“ Uang
biaya untuk Adik masuk SMA bagaimana?” tanya Roni lagi.
“ Jangan
tanyakan itu, nanti pasti Rio bisa cari lagi. Yang penting Kakak sehat,” jawab Rio dengan cengengesan.
“
Rio, terima kasih sudah
merawat Kakak dengan tulus. Maafkan
kakak ,dulu sering usil dan cuek sama Rio. Rio harus rajin
belajar dan jangan seperti Kakak. Suatu hari nanti kamu harus cari ibu ya. Titip salam rindu buat ibu. Rinduku di ujung senja.
Kakak sudah tidak kuat,” Roni berkata
dengan terbata-bata, butiran air mata tampak mengalir di sudut matanya. Rio menggangguk dan matanya berkaca-kaca.
“ Kak,
Kakak, bangun!” tangis Rio. Dia memeluk kakaknya yang sudah menutupkan matanya dengan
rapat.
Rio
tidak menyangka kata-kata mutiara yang disampaikan kakaknya merupakan akhir dari segalanya.
Kerabat
dan kenalan meninggalkan tempat
peristirahatan Roni. Kuburan Roni disandingkan dengan makam ayah mereka.
Tersisa Rio dan pamannya yang masih terbelenggu dengan kesedihan mendalam dan
teramat sangat. Rio pun berjalan dengan lesu.
Beberapa bulan
kemudian, apa yang dilakukan Rio dan teman-temannya
mendapatkan apreasiasi dan penghargaan oleh Walikota pada saat acara penanaman
sejuta pohon untuk lahan yang mulai gundul. Program yang dicanangkan oleh Rio
untuk wilayah yang mulai kosong dengan warna hijau baru terkabul.
Dengan
uang yang dimilikinya ditambah dengan uang dari walikota,
Rio menjalankan keinginannya untuk berkunjung ke rumah
neneknya. Dia mulai menjauh dan meninggalkan daratan Lombok yang telah
membesarkannya menjadi anak yang berguna. Keramaian menyambut Rio di Bandara
Seokarno-Hatta. Dengan wajah bingung dia berjalan menuju pintu keluar sembari
menyimpan rasa gugup yang mendera hatinya. Dia berkata dalam hati.“Apakah saya akan menemui ibu di sana?”
Mentari
mulai menguning di arah barat. Namun, sore tetap mengundang
keramainan di Jakarta. Setelah berada di perjalanan
selama setengah jam dan dijebak dengan kemacetan Ibu Kota Indonesia, akhirnya Rio pun sampai di depan rumah berlantai dua
dan melangkahkan kakinya ke sana. Dia tidak menemukan ibunya.
Rio pun naik menuju lantai dua untuk melihat
pemandangan senja hari ibukota. Tiba-tiba, air mata Rio menetes. Dia
teringat bahwa tempat ini merupakan kenangan ia bersama kakaknya. Di kala mereka
kecil, Rio dan Roni kerap kali bertengkar dan bermain di sini. Ibu dan ayah mereka pun sering berkumpul di sini. Tiba-tiba sebuah bayangan menghampiri Rio. Rio memeluknya dengan
erat.
Dia tahu itu ibunya. Air mata rindu mulai menetes dari
pelupuk mereka . Ternyata ibunya berada di dekatnya. Perasaan senang mengalir di seluruh
tubuhnya. Rio menjelaskan keadaan ayah dan kakaknya. Dia juga
menjelaskan keberhasilannya dalam mencegah kepribadian bebas remaja sekarang dan membantu mereka
melupakan rokok dan narkoba. Ibunya tersenyum.
Mereka pun saling merangkul dengan eratnya. Rindu dendam yang tertanam selama lima tahun pupus sudah.
Mereka berada di sana untuk membuang rasa rindu mereka sampai senja menutup
harinya. Rio
pun menyampaikan pesan kakaknya. Kakak yang menitip rindu di ujung senja buat
ibu.
GLOSARIUM:
1.
Barugaq = rumah kecil tempat duduk santai terbuat dari
kayu (bahasa Sasak)
2.
Inaq-inaq = ibu-ibu
(bahasa Sasak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar